SARANA UMAT - Oleh:
Geys Abdurrahman Assegaf Lc.
Prolog
Pada
masa ini Islam sudah banyak terfitnah. Pendistorsian tersebut datang
didalam pemberitaan, maupun sebab terejawantahkan dengan cara yang
salah. Sehingga Islam dipahami hanya sebuah kepercayaan kolot yang
sifatnya memaksa. Islam didakwa hanya sebagai produk budaya bangsa Arab,
sehingga tidak ada kerelevansiannya bagi bangsa lain. Sungguhpun hal
ini merupakan homework bagi para cendekiawan Muslim khususnya untuk
berusaha meluruskan apa yang bengkok dimanapun mereka berada.
Islam
adalah sebuah tatanan hidup. Ia bukanlah sebuah ‘produk’ yang berbalut
Arabisasi seperti digaungkan banyak orang. Terlebih Islam adalah sebuah
petunjuk yang dengannya manusia memiliki land of vision yang lebih luas
dan terarah, shalih li kulli zaman wa makan. Islam haruslah dipelajari
secara menyeluruh, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Ibaratnya
seseorang tidak akan bisa mengaku (Self-Claim) bahwa dirinya telah
memutari lapangan sepakbola, padahal dirinya hanya penonton bahkan hanya
berdiri diluar lapangan. Tulisan ini hanyalah sebagai madkhal atau
pengenalan singkat bagi yang membutuhkannya. Semoga bermanfaat.
Islam Muhammad; Sebuah Segel
Kata
“Din” dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa
Arab ia termasuk lafaz yang Musytarak, yaitu bermakna lebih dari satu.
Ia berarti menundukkan, patuh, balasan, kebinasaan dst. Bagi bangsa
Indonesia, ia dikenal dengan nama Agama yang berasal dari bahasa
Sanskrit. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Agama adalah Murakkab
Idhafi atau rangkaian kata yang digabung dari A yang berarti Tidak, dan
Gam yang berarti pergi atau pindah. Jadi Agama adalah tidak pergi, tetap
ditempat, dan diwarisi secara turun temurun.
Pada hakikatnya memang
Agama mempunyai ciri yang demikian Ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa Agama berarti Text yang memiliki tuntutan serta mengandung ajaran
bagi para pemeluknya. Sedangkan kata Religi berasal dari bahasa Latin,
yaitu Religere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca, ataupun
mengikat. Intisari kandungan dalam asal semantique bahasa diatas ialah
ikatan. Maka Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi manusia. Ikatan ini berpengaruh besar dalam kehidupan manusia
dalam kesehariannya. Ikatan tersebut berasal dari satu kekuatan Mutlak
yang MahaTinggi, Sempurna, Bijak, dan Uncomprehended tidak bisa dibatasi
dan disamakan dengan sesuatu apapun.
Pada perjalanannya Agama
Islam telah mengalami transformasi Syariat sejak diturunkannya ke muka
bumi. Adapun Yahudi dan Nasrani mereka adalah kaum atau bangsa dan
bukanlah Agama. Karena agama yang diturunkan oleh Tuhan adalah Islam.
Hal ini ditegaskan oleh Allah swt didalam banyak sekali ayat Al-Qur’an.
Mari kita coba renungkan Firman-firman Allah swt. di bawah ini.
Allah swt telah Berfirman didalam Al-Qur’an:
“Ketika Tuhannya berkata kepadanya, Islamlah kamu, maka Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam.” (
QS. Al-Baqarah; 131)
“Dan
telah mewasiyatkan (pula) Ibrahim dengan itu kepada anak-anaknya dan
Ya’qub. Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk
kamu suatu agama. Maka janganlah kamu mati, melainkan hendaklah kamu di
dalam keadaan Islam.” (
Al-Baqarah: 132)
“Atau
apakah telah kamu menyaksikan seketika telah dekat kepada Ya’qub
kematian, tatkala dia berkata kepada anak-anak-nya: Apakah yang akan
kamu sembah sepeninggalku ? Mereka menjawab: Akan kami sembah Tuhan
engkau dan Tuhan bapak-bapakmu, Ibrahim dan Ismail dan Ishaq yaitu Tuhan
Yang Tunggal, dan kepadaNyalah kami berserah diri (Muslimin).” (
Al-Baqarah: 133)
“Dan
mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau
Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah : “Tidak, melainkan
(kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim)
dari golongan orang musyrik.” (
Al Baqarah:135)
“Ataukah
kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim,
Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi
atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah,
dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan
syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada
lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (
Al Baqarah:140)
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (
Ali Imran:19)
Dari
Ayat-ayat di atas maka jelaslah bahwa Agama yang diturunkan oleh Allah
swt adalah Islam. Maka penisbatan kalimat Al-Diyanah Al-Samawiyyah atau
agama-agama samawi adalah penisbatan yang kurang tepat. Namun ia adalah
Al-Tasyri’at Al-Samawiyyah atau Aturan-aturan langit (Divine law).
Karena sejatinya mereka memang diberikan Kitab, walaupun tidak berjalan
sesuai dengan Millah dan kitab-kitab tersebut sudah banyak mengalami
pemalsuan. Karena itulah mereka dinisbatkan sebagai Ahlul Kitab dan
bukan Ahlu Al-Diyanat Al-Samawiyyah didalam Al-Quran.
Imam
Fakhruddin Al-Razi menjelaskan dalam Tafsirnya Mafatih Al-Ghaib bahwa
yang dimaksud dalam ayat-ayat diatas adalah Millah Nabi Ibrahim as dan
apa yang dimaksud dari wasiat beliau as kepada anak-anaknya adalah Islam
dengan penjelasan yang terperinci. Namun haruslah dicatat bahwa
hendaknya kita membedakan, antara masalah Akidah dengan Syari’at kepada
orang-orang Ahli Kitab dan Non-Muslim. Kendatipun Agama yang diridhai
Allah swt adalah Islam, bukan berarti kita tidak bisa hidup berdampingan
dengan mereka, apalagi jika hal sampai menjadi pembenaran untuk
membunuh sesama umat manusia sebagaimana akan dijelaskan lebih detil
dalam tulisan ini.
Al-Quran dan Hadist telah menegaskan bahwa
risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah risalah kenabian yang
terakhir, penutup dari risalah-risalah para nabi sebelum beliau saw.
sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran:
“Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”. (
QS. Al Ahzab:40)
“Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (
QS. Al-Maidah:48)
Rasulullah
saw. bersabda: “Perumpaan antara diriku dan para nabi yang diutus
sebelumku seperti seorang pria yang membangun sebuah rumah yang megah
dan indah kecuali sebuah bata yang hilang dari bangunan tersebut.
Orang-orang akan berkeliling dan memuji bangunan tersebut, akan tetapi
mereka berkata “ kenapa tidak kamu perbaiki saja bangunan ini ?“(bata
yang hilang tersebut), maka Rasulullah saw. menjawab, “Akulah bata itu,
dan akulah yang terakhir dari para nabi.”
Dengan konfirmasi ini
jelaslah bagi kita umat Islam bahwasanya hukum Islam datang untuk
menyempurnakan seluruh hukum keagamaan yang diturunkan sebelumnya dan
bahwa risalah Muhammad saw. adalah segel dari seluruh risalah kenabian.
Islam menyediakan sebuah tatanan bernegara, bermasyarakat, mengatur
kehidupan manusia hingga akhir masa kelak tiba. Sebuah hukum yang telah
teruji coba dan aplikabel selama berabad-abad, ditangan para ahlinya.
Sejarah mencatat musuh-musuh Islam dan non-muslimpun pun mengakui
keadilan perundang-undangan Islam itu sendiri. Sebuah hukum dengan
karakter berkembang, dapat diperbandingkan, serta lentur dalam menjawab
tantangan yang membludak disetiap zamannya. Lebih lanjut silahkan
merujuk kitab-kitab sirah dan juga tarikh yang sudah ditulis oleh para
ulama salaf dan khalaf.
Benarkah Risalah Islam Itu Universal?
Hukum
Islam dengan peraturan, sistem, dan prinsip-prinsipnya telah mewarnai
peradaban manusia selama ratusan Tahun lamanya. Sebagaimana Islam telah
diturunkan sebagai pembimbing yang mengarahkan diri manusia kepada jalan
hidup yang sebenarnya. Islam turun guna memperbaiki peradaban dan
kesusilaan manusia, sehingga mereka dapat hidup layaknya seorang
manusia, yang berdasarkan kemanusiaan, dan bukan kehewanan.
Islam
tidak diperuntukkan bagi sebuah ras, teritori, ataupun untuk golongan
tertentu.
Sebaliknya seruan Islam membawa manusia kepada persaudaraan,
tanpa membedakan suku, warna kulit, bahasa, dan berkewarganegaraan
manapun. Manusia diangkat menjadi pemimpin, bertanggung jawab atas diri
mereka juga atas berlangsungnya kehidupan diatas muka bumi ini melalui
bimbingan Hukum Tuhan (Divine Law). Islam tidak mengusung fanatisme
terhadap hal-hal tersebut, karena semua itu hanya yang menjerumuskan
kepada perpecahan dan kebinasaan ras manusia itu sendiri. Hanya orang
yang paling bertakwalah yang akan menjadi sebaik-baik manusia dihadapan
Allah swt.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (
QS. Alhujurat:13)
Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwa Rasulullah saw pernah
bersabda: “ Aku telah dianugrahkan oleh Alah apa yang tidak
dianugerahkan-Nya kepada orang-orang ( para nabi dan rasul ) sebelumku :
Allah telah memberikanku kemenangan yang sangat besar ( dengan
memberikan rasa takut kepada musuh-musuh-Nya dari jarak 1 bulan
perjalanan ketika berperang ), bumi telah dijadikan oleh-Nya suci bagiku
( dan bagi para pengikutku ) untuk shalat dan bersuci ( bertayammum )
supaya seluruh pengikutku dapat malaksanakan shalat dimana saja ketika
waktunya tiba. Harta peperangan telah dihalalkan-Nya untukku ( dan para
pengikutku ) yang tidak dihalalkan bagi kaum-kaum sebelumku. Aku
dianugrahkan-Nya hak untuk memberikan syafa’at ( kepada para pengikutku
pada hari kebangkitan kelak). Para nabi sebelumku diutus hanya kepada
bangsanya saja, melainkan aku yang diutus untuk seluruh ummat manusia.”
Nushush
(Text) di atas telah menegaskan kepada kita universalitas risalah agama
Islam. Sejarah pun telah mengonfirmasi bahwa Rasulullah SAW pernah
mengirim pesan untuk para raja dan pemimpin, menyerukan kepada mereka
untuk segera memeluk Islam. Sebutlah raja Abyssinia ( An-najasyi ),
kaisar Persia, Byzantium Roma, dan Pemerintah Mesir. Beliau saw
menyerukan didalam suratnya : “jika kamu memeluk agama ini (Islam) maka
engkau akan memperoleh keselamatan dan ganjaran yang berlipat ganda.
Akan tetapi jika kamu menolak Islam, maka dirimu akan menanggung dosa
para petani dan kaummu.”
Jika saja risalah yang diusung oleh
beliau saw. tidak universal; sebagaimana klaim sebagian pihak, Nabi
Muhammad saw. tidak akan mengirimkan pesan untuk para pemerintah dan
raja pada saat itu. Karena memang sudah menjadi kewajiban bagi ummat
Islam untuk mendakwahkan Islam dimanapun dan kapanpun. Al-Quran
menegaskan:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”(
QS. Ali Imran: 110)
Adalah
sebuah fitrah bagi siapapun yang berakal dan berhati untuk menyadari
eksistensi Sang Maha Sempurna. Bertolak dari keyakinan inilah manusia
akan memiliki konsistensi dalam menjalankan segala perintahnya dengan
penuh ketaatan dan kesadaran. Esensi keimanan adalah risalah yang
menjadi kewajiban ummat Islam, untuk disebarkan keseluruh penjuru dunia
dan mewarnainya dengan peradaban yang kokoh, teratur, modern, dan
bersatu dalam toleransi yang terarah.
Lantas Timbul Pertanyaan, Mengapa Islam Diturunkan di Arab?
Dr.
Said Ramadhan Al-Buthi dalam Fiqhu Al-Sirah nya menjelaskan, bahwa ntuk
memahami hal ini maka setidaknya kita harus tahu bagaimana
karakteristik bangsa Arab, Thabi’ah, serta letak geografis mereka dan
memperbandingkannya dengan negri-negri selainnya sebelum Islam datang.
Kita juga harus menggambarkan kondisi kebudayaan dan sistem peradaban
bangsa-bangsa lain pada masa itu, seperti Romawi, Persia, Yunani dan
India.
Pada waktu itu, dunai dikuasai oleh dua poros kekuatan
superpower, Persia dan Romawi, menyusul setelahnya India dan Yunani.
Persia adalah ladang subur bagi dunia khayalan dimana agama dan filsafat
dipertentangkan. Diantaranya Agama Zoroaster yang dianut sebagai
kepercayaan para penguasa negara. Diantara falsafahnya adalah
mengutamakan perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya atau
saudaranya, hingga raja Yazdajird II yang memerintah pada abad ke-5
Masehi mengawini anak perempuannya sendiri . Belum lagi
penyimpangan-penyimpangan akhlak dan kebejatan moral yang terjadi karena
menganut sistem ibahiyyah atau Permisivism dalam budaya mereka. Di
Persia juga terdapat aliran Mazdakia yang menurut Al-Syahrastani dalam
Al-Milal Wa Al-Nihal, mereka menghalalkan semua wanita, harta, dan
manusia sebagai perserikatan mereka seperti dalam masalah ari, api, dan
rumput. Kontan saja aliran seperti ini mendapatkan sambutan meriah dan
luas dari para pengumbar hawa nafsu. Pada masa pemerintahan raja Chosrus
II (590-625 M),
Persia dikalahkan oleh Heraclitus dari Kekaisaran
Bizantium. Akibatnya kerajaan tersebut collapse sehingga pajak
peperangan dan kehidupan mewah keluarga kerajaan sangat menekan bagi
rakyat. Setelah jatuhnya Chosrus maka anggota keluarga kerajaan saling
berebut kekuasaan, dalam pertarungan itu kaum militer dan feodal ikut
serta. Dimasa antara Chosrus dan Yasdajird belasan raja silih berganti,
mereka naik hanya untuk diturunkan atau mati dibunuh kemudian.
Pertentangan antara Zoroastrian dengan aliran Nestor dan Monofisit juga
berperan bagi keretakan negara adidaya tersebut.
Romawi telah
dikuasi sepenuhnya oleh semangat Kolonialisme yang dapat kita saksikan
sampai hari ini, dari kegemaran Amerika dan negara-negara penjajah dalam
melakukan pemerkosaan kepada negara-negara yang ingin mereka kuasai.
Sejatinya filosofi yang digunakan oleh negri-negri ini adalah mata
rantai dari kegemaran menjajah orang Romawi. Negri ini juga terlibat
pertentangan antar keyakinan, Nasrani dan Romawi. Romawi sangat
bergantung kepada kekuatan Militer guna memuluskan ambisi penjajahan dan
menganggapnya sebagai petualangan dan permainan hawa nafsu semata.
Negara ini pada masa itu tidak kalah amoralnya dari negri Persia.
Pemerasan pajak dari daerah-daerah jajahan mereka ditarik dengan jumlah
yang tidak wajar. Sehingga tak ubahnya kekayaan menumpuk pada satu
titik, sementara kemiskinan merajai sisanya.
Dalam rumah tangga
Ancient Rome, seorang ayah tidak berkewajiban merawat anaknya, baik
laki-laki atau perempuan. Anak-anak ini kemudian diletakkan dikedua
kakinya, apabila ia mengangkat anak ini keatas dengan tangannya, maka
artinya ia menerima anak tersebut, dan jika tidak maka itu artinya dia
tidak menginginkannya sebagai anak. Anak ini bebas dimiliki siapa saja,
mereka dibuang ke tempat-tempat peribadatan. Jika ada yang mengambilnya
maka beruntunglah ia. Namun jika tidak maka ia dibiarkan mati kelaparan,
kepanasan, atau kedinginan. Seorang kepala keluarga berhak memasukkan
siapa saja ataupun mengusir siapa saja dari rumahnya dengan cara jual
beli. Sistem jual beli ini diatur dengan 12 papan aturan selama 3 x
penjualan untuk laki-laki, yang mana setelahnya dia bisa bebas. Adapun
bagi perempuan dia selamanya tunduk pada kehendak kepala rumahnya.
Kepemilikan ini berlanjut terus sampai akhir hayat anak-anak tersebut
begitu juga terhadap istri-istri, cucu dan cicitnya. Hak-hak seorang
kepala keluarga antara lain: Menjual, menghilangkan haknya, menyiksa,
membunuh. Dari sini kita dapat memahami bahwasannya yang dimaksud adalah
hak menguasai manusia sebagai barang/komoditas, bukan hak dalam
menjaga, merawat, serta mengayomi. Hal ini terus berlanjut hingga
datangnya pemerintahan Gustine (W 565 M), yang membatasi kekuasaan
kepala keluarga sesuai dengan adab.
Adapun Yunani, mereka
tenggelam dalam khurafat dan mitos-mitos verbal yang tidak pernah
memberinya kemanfaatan. Perempuan pada masa itu harus tinggal selalu
dirumah dan dilarang memberikan sumbangsih apapun pada negara. Mereka
tidak diberikan kesempatan belajar. Mereka dianggap sangat hina sehingga
dinamakan najis yang diciptakan oleh syaithan. Perempuan adalah
komoditi. Mereka dijual, dibeli, dan dijadikan alat pemuas syahwat
dipasar-pasar. Sejak lahir ia tidak memiliki posisi apapun untuk menawar
nasib dan haknya sebagai manusia madani. Perempuan tidak diberikan hak
waris, seumur hidupnya ia adalah budak bagi para pria, dan menjadi kapan
saja ia dapat istri sekehendak lelaki. Diperbolehkan bagi laki-laki
menghabiskan harta perempuan, dan mereka tidak memiliki hak cerai.
Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Mustafa Al-Siba’i dalam Kitabnya
Al-Mar’ah fi Al-Islam.
Lebih lanjut di Sparta, perempuan diberikan
hak-haknya, baik dalam Talak maupun Muamalah Maliyah. Akan tetapi ini
disebabkan karena mereka tinggal di negara yang selalu berperang. Semua
laki-laki pergi ke medan perang meninggalkan semua urusan-urusan kepada
perempuan karena mereka tidak ada. Maka di negri ini dapat dipastikan
wanita bebas berjalan-jalan kemana yang mereka suka. Akibatnya,
kebejatan moral dan asusila tidak dapat dihindarkan. Hubungan sejenis
merajalela, segala perbuatan menjadi boleh. Filsafat Ibahiyyah dan
kegemaran berperang sehingga lepas tanggung jawab inilah yang dicela
oleh Aristoteles karena akhirnya malah merusak akhlak. Pornografi dalam
bentuk pahatan dan lukisan dinamakan sebagai seni. Mereka menganut agama
yang memperbolehkan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang
diharamkan, sebagaimana kisah dewi Aphrodite yang menghianati 3 dewa,
pada awalnya ia adalah istri dari 1 dewa. Kemudian dia berzina dengan
manusia sehingga melahirkan Cupid yang sering dinamakan sebagai dewa
cinta. Homo seksual didewakan, hingga mereka memahat patung Harmodius
and Aristogeiton sebagai lambang homoseksualitas mereka. Pada akhirnya
kebejatan moral inilah yang menjadi jalan penghancur bagi bangsa ini.
Begitupula India, tidak ubahnya seperti negri-negri yang telah
dijelaskan sebelumnya atas kesepakatan para ahli sejarah, sebagaimana
disebutkan oleh Syaikh Abu Al-Hasan Al-Nadawi didalam kitabnya Madza
Khasru Al-‘Alam bi Inhithat Al-Muslimin.
Adapun Bangsa Arab mereka
hidup tenang dan jauh dari bentuk kerusakan tersebut. Mereka tidak
memiliki kemewahan dan kemajuan peradaban Persia, yang memungkinkan
mereka untuk lebih ‘inovatif’ dalam menciptakan kebejatan dan
kemerosotan moral, serta filsafat Ibahiyyah yang dibungkus dengan nama
agama. Mereka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi sebagai
akomodasi untuk melakukan Conquest ke negri-negri lain. Mereka jauh dari
dialektika Yunani sehingga mereka tidak terjerat dengan pemikiran
khurafat verbal (Dikatakan pemikiran karena ada proses berfikir dan
dialektika) sebagaimana bangsa Yunani termangsa olehnya. Tidak ada
perebutan kedudukan politik sebagaimana menjangkit negara Persia yang
penuh dengan konspirasi dan kedzaliman karena syahwat kekuasaan.
Karakteristik bangsa Arab tidak ubahnya sebagai Pure Ingredients atau
bahan murni yang belum bercampur dengan bahan lainnya. Kemanusiaan,
kesetiakawanan, loyalitas, dermawan, harga diri dan kesucian adalah ciri
bangsa ini. Permasalahannya mereka tidak memiliki sebuah aturan yang
mengarahkan mereka untuk mengejawantahkan secara benar, apa yang sudah
ada didalam diri mereka. Akibatnya mereka membunuh anak dengan sebab
demi kemuliaan dan kesucian, memusnahkan harta kekayaan dengan alasan
kedermawanan, membangkitkan peperangan antara mereka demi harga diri dan
kepahlawanan. Kondisi Inilah yang digambarkan oleh Allah swt dalam
Firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kami sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-Baqarah: 198).
Konteks ayat ini lebih tepatnya ditujukan kepada I’tidzar atau Excuse.
Ia tidak dinisbatkan sebagai hinaan ataupun celaan. Hal ini karena apa
yang bangsa Arab perbuat tidak sebanding dengan perbuatan dan amoralitas
umat-umat sezaman mereka.
Jadi secara singkat dapat disimpulkan,
bahwa turunnya Islam di Jazirah Arab bukanlah sebab mereka memiliki
peradaban yang bathil ataupun agama yang menyesatkan, sulit diluruskan,
banyak perdebatan, ataupun bangga dengan kerusakan mereka sebagaimana
bangsa-bangsa lain pada waktu itu. Melainkan karena disana jiwa yang
fitrah dari bani Adam masih bertengger didalam tubuh mereka. Sehingga
ajaran Islampun berkembang dengan cepat dan pesatnya dari dalam hingga
menuju keluar. Hal ini didukung pula oleh kenyataan bahwa pada masa itu
Dua negri Adidaya sudah mengalami masa Monopause sehingga Ekspansi
ajaran Islam mudah untuk diterima oleh Bangsa-bangsa lain. Sungguh ini
semua adalah kuasa dan karunia Allah swt.
Bukti Kenabian dalam Kitab-Kitab Samawi
Kendatipun
penuh akan penyimpangan dan pemalsuan, kebenaran atas kenabian
Rasulullah saw. dapat dideteksi melalui kitab-kitab agama samawi yang
datang sebelumnya. Para ilmuan dan sejarawan agama lainpun mengakui hal
tersebut. Diceritakan didalam injil barnabas ( 41:27) “ Betapa
bahagianya ketika tiba saatnya dirinya akan datang kedunia, percayalah
padaku, aku tidak pernah melihatnya dan menghormatinya sebagaimana para
nabi memberikan penghormatan mereka kepada dirinya, karena Allah akan
menyiapkan para nabi dari jiwanya. Ketika diriku melihatnya, aku merasa
sedih dan berduka dan berkata, wahai Muhammad, semoga Allah menolongmu
dan memuliakan aku dengan melepaskan ikatan sepatumu, karena jika aku
melakukan hal itu, diriku akan menjadi Nabi yang agung dan paling suci
dihadapan Allah.”
Didalam injil John (Johanes), salah satu dari
kitab-kitab kanonik, menggunakan kata “paraclete” yang diambil dari kata
dalam bahasa yunani “parakletos”, yang berarti penghibur,ataupun
penolong. Yang menyerupai kata “ paraklutos” yang langsung berarti “
yang terpuji” yang dalam bahasa arab artinya adalah Muhammad, Ahmad,
atau Mahmud. Al-Quran dan Hadist menjelaskan:
“Dan (ingatlah) ketika
Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu
Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang
akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul
itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka
berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. (
QS. As Shaf: 6)
Dan
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Muhammad bin Jubair bin Mu’tim,
bahwasanya Rasulullah saw. pernah bersabda: “Aku memiliki lima nama:
“Aku Muhammad dan Ahmad;…”. Dalam buku Izhhar Al-Haqq (Demonstration of
the Truth), Rahmatullah Al-Hindi mengungkapkan : “Perbedaan antara dua
kata yang terjadi dalam bahasa yunani adalah hal yg lumrah. Apalagi
huruf-hurufnya juga banyak yang saling menyerupai satu sama lain. Dalam
hal ini, kata “paraklutos” telah disimpangkan menjadi “parakletos” oleh
para ahli kitab didalam beberapa edisi, dan yang paling berkepentingan
untuk melakukan hal ini adalah mereka yang mengimani trinitas.”
Senada
dengan Rahmatullah Al-Hindi, Dr. Hassan Dhiya’ ad-Din ‘Atir
mengkonfirmasi penyimpangan ini didalam bukunya Nubuwwat Muhammad
shallalahu ‘alaihi wa sallama fil Al-Quran ( Muhammad Prophethood in The
Qur’an ), sebagaimana diceritakan oleh ‘Abdul Wahhab An-Najjar : “Carlo
Nelino, seorang orientalis berkebangsaan Italia menghadiri kuliah umum
bahasa Arab di Dar Al-‘Ulum College, Cairo University, atas rekomendasi
pemerintah Italia. Dia memperoleh gelar doktoralnya tentang literatur
ke-yunani-an. Ketika masih menjadi murid, dia terbiasa duduk bersama
syeikh An-Najjar hingga akhirnya mereka menjadi sahabat.
Pada
suatu ketika, syeikh An-Najjar bertanya kepadanya, “Tahukah kamu apa
arti dari kata ‘Parakletos’? “ ia menjawab, “para pendeta mengatakan
bahwa artinya adalah Consoler (Penghibur). Aku (syeikh An-Najjar)
menjawab, “Aku bertanya kepadamu sebagai seorang professor yang
menguasai bahasa yunani, bukan sebagai pendeta!” Kemudian sang professor
menjawab, “Artinya adalah seseorang yang sangat dipuji“, “ Maka aku
bertanya, “Jika memang begitu, bukankah kata tersebut (Parakletos)
adalah bentuk lain dari akar kata dari Hamida“ atau terpuji? “dia
menjawab kembali, “Ya.” Kemudian aku berkata, ”Tahukah kamu bahwa salah
satu diantara nama-nama nabi adalah ‘Ahmad.” Dia menjawab, “wahai
saudaraku, sungguh engkau telah menghafal banyak sekali kata-kata.”
Setalah itu kami berpisah menuju dua arah yang berbeda.“ Syeikh
An-Najjar mengatakan : “Sesungguhnya aku telah mengerti makna dari surat
ini ( As-Shaf : 6 ) didalam Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah) ketika Isa
Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat
dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan
datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu
datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka
berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (
QS. As Shaf: 6).
Dan
apa yang telah disebutkan didalam injil mengenai hal ini (Paraclete),
tidak lain adalah menceritakan akan kedatangan seorang nabi yang bernama
Ahmad atau Muhammad, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Injil
yang ada pada hari ini, kendatipun disimpangkan sedemikian rupa, masih
tetap memuat wahyu tuhan yang benar. Sebagaimana Islam telah datang
untuk menghapus semua hukum taurat dan injil, maka pada masa itu
pulalah, risalah kenabian Muhammad saw., sebagai nabi penutup dengan
risalah universal, diberitakan didalamnya. Jika didalam injil
diberitakan siapa nama utusan Allah yang terakhir, maka didalam taurat (
5 kitab pertama yang terdapat didalam perjanjian lama ), di dalam kitab
Haggai (The Book Of Haggai) disebutkan: “Demikianlah, ketika raja dari
para prajurit berkata : dalam waktu dekat, aku akan menggoncangkan
langit ( surga ), bumi, laut, tanah, dan semua bangsa. Ketika orang yang
dielu-elukan oleh semua bangsa ( hamdut ) itu tiba, aku akan mengisi
rumah ini dengan keadilan.”
Menurut kamus-kamus dan
catatan-catatan pinggir literatur yahudi, kalimat “Orang yang
didamba-dambakan oleh setiap bangsa” yang terdapat didalam kitab Haggai
tersebut dalam bahasa Ibrani berarti “Hamdut”. Sedangkan interpretasi
dari kalimat “Hamdut” dalam bahasa arab berarti “Muhammad, Ahmad atau
Mahmud”. Sepertinya, raja dari prajurit-prajurit tersebut berkata “Aku
akan mengguncangangkan seluruh bangsa dan ketika Muhammad datang, aku
akan menyebarkan keadilan dirumah ini ;yaitu Baitul Maqdis/Yerussalem.
Teks yang tertulis dalam kitab tersebut sebenarnya menyebutkan nama
Muhammad dengan kata “Hamdut”, akan tetapi penerjemah-penerjemah
menyimpangkan kata ini menjadi arti yang berbeda dari pada yang
seharusnya. Mereka mengartikannya dengan Musytaha, yaitu orang yang
‘didamba-dambakan’ oleh setiap bangsa, daripada Muhammad, yakni orang
yang dipuji-puji oleh setiap bangsa. Allah swt. berfirman:
“(Tetapi)
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan
hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang
mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa
akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka
(yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (
QS. Almaidah:13)
Sikap Islam Terhadap Ahli Kitab dan Non-Muslim
Allah
swt. mengetahui bahwasanya untuk menurunkan risalah Muhammad sebagai
risalah terakhir/penutup, maka harus ada sebuah ‘Formula’ abadi yang
mampu untuk membimbing umat manusia hingga akhir masa. Formula tersebut
adalah penyempurna dari pada risalah yang telah diturunkan kepada
rasul-rasul sebelumnya. Inilah mukjizat Rasulullah saw. yang paling
hebat yang akan terus bertahan dan tidak akan pernah mengalami perubahan
hingga akhir zaman seperti yang telah dijanjikan oleh Allah swt. di
dalam Al-Quran:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (
QS. Alhijr: 9),
“Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.” (
QS. Almaidah: 50),
“Kemudian
kamu (Bani Israel) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir
segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu
terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka
datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir
mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat.”� (
QS. Al-Baqarah 85),�
“Merekalah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.”� (
QS. Annisa: 151)
Kesemua
ayat di atas menunjukkan kewajiban bagi umat manusia (tidak hanya umat
Islam saja melainkan juga para ahli kitab) untuk mempercayai risalah
yang dibawa oleh Rasulullah saw sebagai risalah penutup dan meyakini
Al-Quran adalah kitab pembimbing yang mampu untuk mengayomi umat manusia
hingga akhir zaman. Namun, ada beberapa hal yang esensial serta
substansial yang wajib dipahami sebelum kita mencapai kesimpulan
bahwasannya risalah Islam ini memang universal. Kita telah melihat
kelakuan orang-orang yang mengaku beragama Islam, namun ternyata salah
dalam memahami Islam itu sendiri. Mereka membunuhi orang-orang
non-muslim di negara yang menjaga hak-hak kaum muslimin dan menjaga
hak-hak orang non-muslim. Teror Bom adalah hal yang paling ‘lumrah’ yang
bisa kita temukan. Jika ada nama teroris disebut, tentulah kata yang
mengiringinya adalah Islam.
Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, benarkah Islam mengajarkan demikian?
Agama Islam mensyaratkan harus sampainya seruan dan pengajaran Agama Islam atau Bulugh Al-Da’wah sebelum seseorang terkena
taklif
(Pembebanan Syariat). Sesungguhnya kita tidak bisa memaksakan kehendak
untuk mengislamkan orang lain, melainkan melalui Da’wah bil hikmah wal
mau’idzah al-hasanah wa bi allati hiya ahsan, yaitu dakwah dengan cara
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan sebagaimana
Islam diturunkan. Seorang yang berdakwah karena Allah swt hendaknya
sabar dan ikhlas, sehingga benih-benih Islam sebagai Rahmatan lil
‘Alamin tumbuh dan bersemi. Dakwah sendiri sekurang-kurangnya mencakup 3
hal:
a. Berkaitan dengan pendakwah:
Apakah ia sudah
benar-benar mempunyai kemampuan berdakwah, menguasai berbagai macam
hukum islam, memahami Ruh Syari’at yang ada didalam agama Islam, ataukah
hanya bermodalkan semangat membara tanpa dirinya mempunyai bekal yang
cukup? Tidak mungkin seseorang akan sukses dalam bertani, melainkan ia
haruslah menguasai ilmu agrikultural dan lahan yang akan digarapnya. Ia
akan gagal bahkan sebelum musim panen tiba. Maka haruslah kita pahami
benar, bahwa dakwah adalah sebuah jalan yang bukan hanya berisikan niat
baik semata, namun juga harus dipersiapkan dengan matang oleh sang
pendakwah. Dan dirinya harus selalu mengutamakan belajar ketimbang
terburu-buru untuk menyampaikan, karena jika apa yang disampaikannya
tersebut justru menyalahi syari’at, maka ia yang akan menanggung dosanya
dan dosa orang yang melakukannya.
Allah swt. telah menegaskan dan mengingatkan tentang hal ini dalam Firman-Nya:
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.” (
QS. Al-Isra` : 36). Rasulullah
saw juga telah menegaskan hal ini dalam sabdanya: “Siapa yang memberi
contoh dalam Islam dengan contoh yang baik, maka baginya pahalanya dan
pahala orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun. Dan siapa yang memberi contoh dalam Islam dengan
contoh yang jelek, maka atasnya dosanya dan dosa orang yang
mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (
HR. Muslim).
Seorang
dai juga hendaknya berlaku lemah lembut dan welas asih, tidak kasar,
keras, apalagi dengan mudahnya mengafirkan ataupun membid’ahkan. Hal ini
adalah salah satu kunci kesuksesan dakwah Rasulullah saw dan juga
merupakan ciri moderasi dakwah yang disebutkan oleh Allah swt. di dalam
firman-Nya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (
Ali Imran: 160)
Di
sini hendaknya kita berhenti sejenak dan bertanya, adakah kita sudah
mengikuti petunjuk Allah swt. dan Rasul-Nya untuk bertawakal, ataukah
kita memaksakan apa yang sebenarnya tidak bisa kita paksakan? Di sinilah
ada makna Iman dan Tawakal. Serta doa di dalam usaha. Allah swt.
menggariskan ketentuan-Nya dan apa saja yang dikehendaki oleh-Nya maka
itu adalah kewenangannya. Bahkan Rasulullah saw. sekalipun ditegur dalam
sebuah Ayat,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk.” (
QS. Al Qashash: 56)
b. Berkaitan dengan Objek Dakwah:
Sang
pendakwah hendaknya memperhatikan dengan benar, menganalisa dengan
seksama, bagaimana keadaan objek dakwahnya tersebut. Ia haruslah
memahami aspek-aspek yang mewarnai kehidupan mereka, sosial, kultural,
psikologikal, serta sejarah daripada kaum yang akan didakwahi.
Semata-mata agar dakwah tersebut berhasil memanen hasil yang baik.
Seorang pendakwah dirinya tidak akan menceburkan dirinya kedalam lautan
dakwah, kecuali dirinya telah mengetahui perihal dari medan yang akan
diarunginya. Berapa banyak pendakwah yang gagal, padahal dirinya sudah
memiliki kesiapan niat, hanya karena tidak memahami medan dakwahnya.
c. Berkaitan dengan materi dakwah:
Ibadah
kepada Allah swt. adalah main core dari dakwah itu sendiri. Seorang
pendakwah tidak akan memberikan materi tentang politik dan kekuasaan
kepada orang-orang yang bahkan belum memahami ibadah-ibadah mahdhah
seperti shalat, puasa, zakat, haji mulai dari rukun, syarat, dan
sunnahnya yang justru sangat mereka butuhkan. Karena jika tidak maka tak
ubahnya memberi orang yang haus bukan dengan air minum, tapi dengan
minyak tanah. Jadi hendaknya kita memahami bahwasannya ada tahapan dalam
berdakwah, yakni mengutamakan ibadah dan pemahaman yang benar, serta
akhlak yang dapat mengiringi sebuah ritual ibadah dengan kekhusyu’an
hati dan kehadiran jiwa. Dan ini bukanlah PR kecil bagi setiap
pendakwah, karena dirinya harus terus mengaktualisasikan dirinya, sesuai
dengan aktualisasi kebutuhan kaum yang didakwahinya.
Jadi dapat
kita pahami bersama, bahwa hendaklah seseorang tidak serta merta merasa
dirinya sebagai seorang yang sudah sangat ‘Alim bahkan merasa dirinya
bagai Ulama besar yang berhak untuk berfatwa, karena justru akan
menyesatkan. Apalagi sampai mendakwa dirinya berhak mengambil nyawa
orang yang belum sampai padanya Dakwah Islam yang penuh rahmat dan kasih
sayang ini. Hal ini sesungguhnya telah menyalahi ajaran Islam dan ayat
suci Al-Qur’an sendiri. Karena Allah swt telah berfirman:
“Sesungguhnya kami tidak mengadzab suatu kaum melainkan hingga kami kirimkan Utusan (pada kaum tersebut).” (
Al-Isra : 15).
Islam
tidak memerangi suatu kaum yang tidak memerangi Agama Islam, atau tidak
membunuhi orang-orang Muslim di negara mereka. Karena bagaimana mungkin
seseorang tanpa kewenangan dirinya mengebom pemukiman orang non-Muslim
yang hidup berdampingan dengan kaum Muslimin. Sementara Rasulullah saw
ketika hidup di Madinah beliau berdampingan dan melakukan Tahalluf
(Koalisi/kerjasama) dengan orang-orang dari suku-suku Yahudi disana.
Dakwah dengan cara ini sudah dicontohkan pula oleh Rasulullah saw dalam
sebuah Hadist yang masyhur riwayat dari Abu Hurairah mengenai orang
Baduwi yang kencing didalam Masjid. Rasulullah saw bersabda: “Panggillah
Baduwi itu dan tumpahkanlah pada air kencingnya setimba air atau ia
akan berdosa (disebabkan) air kencingnya itu. Sesungguhnya kalian diutus
untuk membuat kemudahan, dan kalian tidaklah diutus untuk membuat
kesusahan.” (
HR. Bukhari)
Apakah lantas orang
tersebut pantas mendakwa dirinya adalah pengikut Rasulullah saw. yang
sejati, atau malah sebaliknya? Lebih lanjut akan dibahas pada poin-poin
selanjutnya, Insya Allah.
Jika Islam Tidak Memaksa Manusia Untuk Memeluknya, Mengapa Islam Memperbolehkan Peperangan?
Kita dapat menjawab pertanyaan seperti ini dengan rangkain poin sebagai berikut:
1.
Untuk menolak ketidakadilan dan penjajahan terhadap orang-orang Muslim
dan negri-negri Islam. Pada permulaannya, ketika Rasulullah saw
mengirimkan pasukan ke Persia, sesungguhnya beliau telah mengonfirmasi
dua hal terlebih dahulu: Pertama: Orang-orang di negri tersebut sudah
banyak yang memeluk agama Islam. Kedua: Orang-orang muslim dipaksa untuk
kembali Murtad dan jika mereka menolak maka mereka akan dibunuh.
Kedua
Trigger inilah sebenarnya yang memotori peperangan antara Agama Islam
dan negri-negri seperti Persia dan Romawi yang merupakan kedua kekuatan
Raksasa pada masa itu. Karena para penduduk negri tersebut sudah jengah
dan bosan atas perlakuan pemerintahan mereka yang semena-mena dan hanya
ingin mengeruk keuntungan pribadi serta menyengsarakan rakyatnya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas.
Jelaslah dengan
ini bahwa negara-negara tersebut telah menyatakan peperangan dengan
memaksa dan membunuhi orang-orang yang memeluk agama Islam. Namun kita
lihat bagaimana Rasulullah saw. bersikap. Kendatipun hal tersebut sudah
jelas adanya, Rasulullah saw tetap memakai protokoler dengan mengirimkan
delegasi untuk menyerukan Agama Islam secara damai. Atau Shulh terlebih
dahulu sebelum akhirnya kedua kerajaan Persia dan Romawi menyatakan
peperangan dengan Islam setelah menerima surat tersebut. Jelaslah disini
kiranya Islam bukanlah seperti yang dikira banyak orang, yang
disebarkan dengan pedang dan darah demi mencapai kekuasaan.
Allah swt. menegaskan hal ini di dalam firman-Nya:
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (
QS. Albaqarah: 190),
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir
dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena
mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada
menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah
orang Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)
-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (
QS. Alhajj: 39-40)
2.
Islam tidak serta merta memerangi suatu kaum ataupun wilayah yang
menjadi klaim kekuasaan pihak-pihak tertentu. Akan tetapi Islam datang
dengan semangat perdamaian dan Rasululllah saw. selalu mengirimkan
delegasi guna mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Dan
tidak serta merta memerangi suatu kaum, sebagaimana sejarah mencatat
bahwa Rasulullah saw. mengirim utusan-utusannya kepada raja-raja dan
para amir di berbagai belahan negeri seperti raja Abysinnia
(Al-Najasyi), kaisar Persia, Roma, dan pemerintah yang berkuasa di
mesir.
Jika mereka tidak memeluk agama Islam setelah nyata
penindasan mereka kepada orang-orang Islam yang berada dalam kekuasaan
mereka, maka mereka diharuskan untuk membayar Jizyah sebagai tanda bahwa
mereka berada dibawah kekuasaan pemerintahan Islam, dilindungi, dan
diberikan hak untuk beribadah sesuai menurut keyakinan agama mereka
masing-masing, sebagai pengikat kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dan jika mereka menolak Islam dan membayar Jizyah, maka mereka
menyatakan peperangan kepada Islam.
Wajib dicatat bahwa situasi
peperangan seperti ini hanya memungkinkan jika suatu negara berhukum
dengan hukum Islam yang sah, dan dipimpin oleh seorang pemimpin Muslim
yang sah atau dikenal juga dengan terma Darussalam. Ia tidak bisa
dicetuskan sebagian kecil kelompok yang mendakwa mereka adalah pemimpin
Ummat Islam yang sah. Karena kepemimpinan yang sah haruslah berdasarkan
persetujuan dan bai’at rakyat seluruhnya, yang diwakilkan oleh
wakil-wakil mereka dari kalangan cerdik dan bijak (Ahlul Hilli wal
‘Aqdi). Karena jika tidak maka kepemimpinan tanpa Bai’at ummat Islam
keseluruhan berpotensi untuk diprovokasi dan rawan akan perpecahan
internal.
Allah swt. berfirman:
“Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar Jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (
QS. Attaubah: 29)
Ayat
ini mengandung beberapa pokok penting dalam kesepakatan antara
pemerintahan Islam dengan kafir dzimmy (Yaitu orang non-muslim yang
berada didalam kekuasaan Pemerintahan Islam yang Sah) antara lain
sebagai berikut:
1.Umat Islam tidak akan memerangi mereka.
2.Umat Islam akan menjaga kekayaan, jiwa dan kehormatan mereka
3. Mereka memiliki kebebasan untuk melakukan ritual peribadatan baik
disalam gereja-gereja, sinagog-sinagog ataupun dirumah-rumah mereka.
Seperti yang pernah dilakukan Sayyiduna Umar bin Khattab ra. kepada
orang-orang non-Islam yang ada di Yerussalem.
4. Mereka (kafir dzimmy) memperoleh hak yang sama seperti umat Islam didalam naungan pemerintahan dan hukum Islam.
5. Mereka mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam terhadap
jiwa, kehormatan, serta harta benda mereka apabila mereka mendapat
serangan oleh musuh mereka dari luar. Bukhari meriwayatkan bahwa Umar
bin Khattab ra. mewasiatkan kepada penerusnya dan segenap ummat Islam,
untuk tetap melindungi para kafir Dzimmy dari serangan musuh, dan tidak
membebankan apa-apa yang ada diluar kesanggupan mereka, seperti apa yang
telah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Islam sebagai agama Rahmatan
lil ‘alamin, memberikan keadilan bagi mereka kaum kafir dzimmy yang
berada dibawah naungan pemerintahan Islam, Jizyah ( upeti) tahunan
dibayarkan pada akhir tahun Qamariyyah dan dikumpulkan dari kaum kafir
dzimmy dibagi menjadi tiga bagian : 12 dirham jika mereka adalah kaum
fakir miskin, 24 dirham dari kelas menengah, dan 48 dirham bagi mereka
yang memiliki kesanggupan dan kemapanan ( kaya ). Jumlah yang teramat
sangat sedikit sekali dibandingkan ummat Islam yang diwajibkan bagi
mereka untuk membayar zakat dan berbagai macam jenisnya. Begitu mulianya
Islam hingga pada masa Kekhalifahan Sayyiduna Umar Bin Khattab ra
tanah-tanah Fay’ di negri-negri yang Maftuh seperti Mesir, Irak, dan
Syam ;yaitu tanah-tanah yang ditaklukkan tanpa peperangan besar atau
menyerah dengan sukarela; diwakafkan untuk umat, bahkan diserahkan
kepada yang memilikinya untuk dikelola sebagai sumber Kharraj (Pajak)
ataupun Jizyah, baik orang tersebut
Dzimmy ataupun Muallaf. Tanah-tanah
tersebut tidak dirampas dan dibagi-bagikan
sebagaimana perlakuan
Negara-negara semisal Romawi dan Persia.
Sejarah juga mencatat,
bahwa pada masa pemerintahan khalifah Umar bin ‘Abdul ‘aziz, seorang
gubernur mengirimkan surat kepadanya. Isinya berbunyi : “pembayaran
Jizyah telah menurun drastis karena orang-orang banyak yang memeluk
agama Islam, oleh karena itu apakah tidak sebaiknya kita tetap menarik
Jizyah dari mereka yang sudah memeluk Islam? “ maka sang Khalifah
menjawab : “sungguh sangat buruk sekali pendapatmu! Sesungguhnya Allah
swt. tidak mengutus Nabi-Nya Muhammad saw. untuk mengumpulkan uang,
melainkan sebagai pembimbing seluruh ummat manusia. Ketika kamu menerima
suratku ini maka hapuskanlah Jizyah dari mereka yang telah memeluk
Islam.”
3. Dakwah Islam wajib menyentuh seluruh ummat manusia yang
ada di muka bumi ini. Dan sering kali dakwah ini menemui halangan dan
ancaman dari berbagai pihak yang menguasi sebuah wilayah tertentu. Jika
demikian, maka peperangan adalah sebuah sikap yang harus ditempuh
setelah jalannya negosiasi menemui kebuntuan. Dalam hal ini peperangan
juga terkadang dimasukkan sebagai salah satu syarat dari kedua belah
pihak yang ingin berdamai dan salah satu atau kedua-duanya memiliki
musuh yang memerangi mereka. Seperti ketika Islam mengirim ‘Ubadah bin
Shamit sebagai ketua delegasi Islam kepada al-Muqawqis yang pada saat
itu sedang dalam peperangan dengan emporium Bizantium, Roma. Maka dalam
hal ini peperangan diperbolehkan untuk melindungi kesepakatan damai dan
pakta peperangan antara keduabelah pihak.
Jadi jelaslah bahwa
peperangan dan Agama bukanlah alat untuk mencapai syahwat kekuasaan dan
politik. Namun lebih kepada keniscayaan bahwa Dakwah dalam bentuk
pengajaran Isi dari Agama Islam serta diiringi dengan semangat untuk mau
terus belajar adalah merupakan sebuah keharusan, bagi mereka yang
betul-betul menginginkan kehidupan yang Islami dalam sikap, bukan hanya
dalam nama. Karena sesungguhnya akal tidaklah bisa menentukan baik dan
buruk secara mutlak sehingga ia menjadi kebablasan dan keras. Hati
bukanlah sebuah timbangan mutlak sehingga menjadikan kebencian ataupun
kelewat batas. Namun akal dan hati manusia haruslah berjalan beriringan
bersama Nash atau Text Agama ini, sebagaimana Allah swt telah
menciptakan akal dan hati bukanlah untuk disia-siakan, maka Ia
menurunkan Al-Qur’an untuk membimbing dan bersinergi dengan keduanya.
Epilog
Tentu
saja sangat banyak sekali aspek yang harus diketengahkan dalam
menyuguhkan pembacaan yang lebih mendetail. Karena Islam meliputi banyak
aspek yang tidak bisa hanya dipelajari sebentar melainkan
bertahun-tahun dan dengan bimbingan oleh ulama yang benar-benar mengerti
akan agama ini. Syariat, Akidah, dan Akhlak adalah 3 hal esensial yang
terkandung dari hadist Nabi Muhammad saw. mengenai Islam, Iman dan
Ihsan. Seseorang yang betul-betul menginginkan Islam, haruslah
mempelajari ketiganya dengan benar serta tidak memisahkannya. Karena hal
itu seperti memisahkan Tubuh dari akal dan hatinya. Barulah mungkin
kita bisa untuk paling tidak sedikit mengerti bagaimana Ruh Islam yang
sesungguhnya.
Namun semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan
sedikit pandangan umum terhadap Islam yang selama ini selalu menjadi
tertuduh atas aksi kekerasan yang sering disematkan kepadanya. Dan
semoga kita selalu mengutamakan persaudaraan diatas perbedaan, persatuan
diatas perpecahan, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Karena sesungguhnya Ridha Allah swt adalah bersama jama’ah. (
Wallahu Al-Muwaffiq)
Sumber: www.mosleminfo.com